Jumat, 02 September 2016

KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA SEBAGAI UPAYA PENGEMBANGAN BUDAYA DAN KEARIFAN LOKAL SUKU USING KABUPATEN BANYUWANGI
Oleh: Dina Rahma Ardhiana dan Rosi Nur Azizah

Universitas Negeri Malang
Jalan Semarang 5 Malang-Jawa Timur
Abstrak: Suku Using memiliki kepribadian yang berbeda dengan suku lain. Suku Using memanfaatkan berbagai pengaruh dari luar untuk memajukan daerah tempat tinggalnya. Label kolot yang selalu diberikan pada ras atau etnik tertentu mampu ditangkis oleh Suku Using. Komunikasi lintas budaya yang terjadi akibat letak geografis yang strategis merupakan faktor utama pendorong kekolotan Suku Using memudar. Akan tetapi, dengan masuknya pengaruh luar tidak membuat adat dan istiadat serta tradisi masyarakat Using menghilang.
Kata kunci: Suku Using, budaya, tradisi, kebiasaan, dan komunikasi lintas budaya
Indonesia merupakan negara kaya dengan peradaban kebudayaan yang cukup besar. Corak kebudayaan memberikan warna tersendiri bagi kehidupan Indonesia. Kearifan lokal yang disuguhkan setiap daerah selalu menarik perhatian masyarakat luar negeri utamanya yang berkunjung secara langsung ke nusantara. Faktor-faktor yang memengaruhi variasi budaya salah satunya adalah komunikasi. Komunikasi lintas budaya banyak memberikan warna bagi perkembangan budaya nusantara. Akan tetapi, tidak semua komunikasi memberikan pengaruh baik bagi suku atau etnik yang menjadi target.
Komunikasi merupakan media pertukaran informasi oleh seseorang melalui proses adaptasi dari dan ke dalam sebuah sistem kehidupan manusia serta lingkungan yang dilakukan melalui simbol-simbol verbal maupun nonverbal yang dipahami bersama, seperti yang telah disebutkan Liliweri dalam skripsi Yiska (2015:45). Simbol verbal merujuk pada pesan-pesan yang dikirim dan diterima dalam bentuk kata-kata baik lisan maupun tulisan, sedangkan komunikasi nonverbal berupa tindakan dan atribusi (lebih dari kata-kata) yang dilakukan seseorang kepada orang lain dalam bentuk ekspresi wajah, nada suara, gerak-gerak tubuh hingga gerakan ekspresif.
Suku Using dalam peradabannya tidak lepas dari pengaruh komunikasi lintas budaya. Hal tersebut disebabkan oleh mobilitas manusia yang semakin pesat. Masyarakat luar daerah banyak yang datang ke wilayah Suku Using, sehingga secara tidak langsung komunikasi mulai berjalan. Letak geografis kediaman Suku Using memberikan pengaruh cukup besar. Suku Using terletak berdekatan dengan Pulau Bali yang kaya dengan unsur kebudayaan. Bali merupakan propinsi dengan tempat wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan. Kedekatan posisi kediaman Suku Using dan Propinsi Bali mengakibatkan komunikasi lintas budaya banyak terjadi. Suku Using merupakan suku yang unik, sebab masyarakat didalamnya mampu menyatukan keanekaragaman budaya dan mengomunikasikan intisarinya kepada masyarakat luar. Fenomena-fenomena tersebut membangun karakteristik Suku Using dari dalam yang dinamakan dengan jati diri.

        





       
              
     
       

 
            (Sumber : Google Maps)

SINERGI PERPADUAN BUDAYA MENJADI TOMBAK KEMAJUAN DAN KEUNIKAN SUKU USING
Suku Using memiliki kharisma khusus yang membedakannya dengan suku lain. Kharisma tersebut memancar dalam kepribadian adat dan istiadat yang ada. Budaya masyarakat Using berasal dari perpaduan aspek budaya yang beraneka ragam, misalnya kebudayaan dari Jawa, Madura, Bali, dan Tionghoa. Budaya-budaya yang datang dan memengaruhi dari luar memberikan sinergi tersendiri bagi kelangsungan kebudayaan masyarakat Banyuwangi tersebut.
Variasi dari budaya asing yang masuk ke dalam wilayah Using disebarkan melalui komunikasi. Komunikasi tersebut telah melintasi perbatasan abstrak dari ruang lingkup kebudayaan daerah sendiri. Makna dari komunikasi tersebut adalah tindakan secara verbal yang dilakukan antara masyarakat Suku Using dan luar daerah, dimana keduanya melakukan pengiriman dan penerimaan pesan-pesan dalam konteks perbedaan kebudayaan yang menghasilkan efek-efek berbeda. Orang dari luar kediaman Suku Using dapat dipastikan memiliki latar belakang budaya, ras, etnik, sosial, dan ekonomi yang berbeda dari Suku Using.
Schramm dalam Liliweri (2001:171), mengemukakan 4 hal penting dalam komunikasi sebagai berikut.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar komunikasi berjalan dengan efektif yaitu (1) menghormati anggota budaya lain sebagai manusia, (2) menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang dikehendakinya, (3) menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara bertindak, dan (4) komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang yang budaya yang lain.
Dilihat dari fenomena-fenomena yang muncul dapat ditarik sebuah perspektif jika komunikasi antara Masyarakat Using dengan masyarakat luar daerah terjalin dengan baik dan memenuhi keempat kriteria seperti yang disebutkan Schramm.
Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik. Budaya merupakan bagian dari perilaku komunikasi, kemudian komunikasi menentukan, memelihara, dan mengembangkan atau mewariskan budaya. Komunikasi  memiliki peran penting dalam menyosialisasikan norma-norma yang berasal dari budaya masyarakat. Menurut Smith dalam artikel Andriani (2002) yang berjudul Komunikasi Lintas Budaya, hubungan antara kebudayaan dan komunikasi melekat satu sama lain sebab kebudayaan merupakan kode atau kumpulan peraturan yang dipelajari dan dimiliki bersama. Tidak hanya berhenti sampai kode, komunikasi juga memerlukan lambang-lambang yang merupakan produk kebudayaan.
Budaya luar yang masuk dalam wilayah strategis Using adalah budaya Jawa, Madura, Arab, Cina, Melayu, dan Bali. Budaya luar yang masuk diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat Using. Sifat keterbukaan tersebut memberi efek sinergi positif bagi kemajuan peradaban Suku Using, sehingga label kolot dan primitif dapat ditangkis. Keunikan dari Suku Using ini dapat diamati dari kebudayaan aslinya yang tetap bertahan dan tidak luntur. Budaya asing dimanfaatkan untuk memajukan kawasan Using agar tidak tertinggal oleh kemajuan zaman.


PERAN KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA SEBAGAI FAKTOR PENDORONG ASIMILASI BAHASA USING
Dalam proses komunikasi, pertukaran informasi terjadi melalui bahasa. Bahasa yang dibawa oleh budaya satu dengan budaya lain berbeda. Dalam berkomunikasi, manusia menggunakan bahasa yang dikuasainya. Bahasa yang dikuasai setiap individu memiliki perbedaan signifikan. Perbedaan tersebut dapat berasal dari daerah masing-masing individu. Dengan demikian, komunikasi antarindividu merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya komunikasi lintas budaya. Komunikasi lintas budaya merupakan fenomena unik yang terjadi di wilayah Suku Using.
Bahasa Using merupakan turunan Bahasa Jawa Kuno. Akan tetapi, Bahasa Jawa dan Using tidak dapat disamakan sebab keduanya memiliki perbedaan yang cukup berarti, meskipun kedua bahasa tersebut dapat dikatakan secara kontekstual hampir mirip. Bahasa Using memiliki logat khas dimana tidak terdapat pelafalan yang dikenal dengan istilah medok seperti pada logat Jawa. Bahasa Using menggunakan penekanan pada beberapa huruf. Kedua bahasa tersebut dapat diibaratkan seperti anak dari satu induk beda jantan.
Asimilasi Bahasa Using dengan Bahasa Jawa dan Madura telah terjadi. Pencampuran tersebut membuat Bahasa Using memiliki dua ragam bahasa. Menurut Irwan Abdullah, dkk (1999) dalam Zain dan Najwa (2015) “pencampuran berbagai bahasa mengakibatkan Bahasa Using memiliki 2 ragam yakni ragam biasa atau Bahasa Using dan ragam halus atau Bahasa Jawa-Using”. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, Bahasa Jawa-Using lebih akrab disebut sebagai besiki.
Dalam setiap perkembangan kebudayaan, komunikasi lintas budaya yang terjadi semakin meningkat dan menyebabkan Bahasa Using menyusut dan jarang digunakan oleh sebagian Etnik Using. Abdullah (1999) dalam Rochmat dan Najwa (2015) mengemukakan hal perihal penting mengenai bahasa sebagai berikut.

Terjadinya dimensi perubahan diakibatkan masuknya bahasa Jawa dan Madura dari masyarakat pendatang. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya keanekaragaman bahasa dalam masyarakat Banyuwangi, dan muncul masalah keanekabhasaan dan masalah sosiolinguistik lainnya, dimana proses persentuhan bahasa ibu dan bahasa pendamping menimbulkan ketumpangtindihan (overlapping), alih kode dan campur kode.
Akan tetapi, Bahasa Using masih cukup digunakan oleh warga di daerah kecamatan yang terletak di sebelah timur Banyuwangi. Hal tersebut membuktikan jika komunikasi lintas budaya dari luar dapat memengaruhi Bahasa Using.

AKULTURASI KEBUDAYAAN USING SEBAGAI AKIBAT DARI KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
Komunikasi lintas budaya pada masyarakat Using merupakan interaksi antara anggota dari budaya sendiri kepada anggota lain dari budaya lain. Proses komunikasi lintas budaya pada masyarakat Using berhasil dimulai dengan goodwill pada pihak-pihak yang diajak untuk berinteraksi. Saat manusia memasuki lingkungan baru dapat dipastikan terjadi interaksi dan proses pengenalan budaya yang ada di lingkungan baru tersebut.
Banyuwangi merupakan sebuah daerah strategis yang memungkinkan budaya lain untuk masuk dan berinteraksi. Keragaman budaya yang singgah di daerah Banyuwangi diduga menjadi dasar pembentukan suku. Suku tersebut adalah Suku Using. Ditinjau dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dapat dilihat bahwa kebudayaan Suku Using merupakan hasil akulturasi berbagai budaya, sehingga membuat budaya Using memiliki keunikan tersendiri.  Tradisi Using dapat dikatakan hampir mirip dengan tradisi orang Jawa, Madura, Arab, Cina, Melayu, Bali, atau gabungan keseluruhannya. Interaksi yang terjadi disebabkan oleh sifat masyarakat Using yang mulai terbuka dengan perkembangan zaman. Keadaan tersebut menyebabkan komunikasi lintas budaya terjadi.
Tradisi Suku Using yang merupakan hasil akulturasi diantaranya Tari Gandrung, Kesenian Barong, Kesenian Kuntulan, dan Kesenian Janger. Tarian Gandrung Using merupakan seni pertunjukan hasil akulturasi Budaya Jawa dan Bali. Kesenian Barong Using merupakan hasil akulturasi dengan Budaya Bali. Barong Using dan Barong Bali memiliki perbedaan yang terletak pada ukuran Barong. Barong Bali lebih besar dan tidak bersayap, sedangkan pada Using sebaliknya. Keberadaan Barong pada dua wilayah dan bentuk yang berbeda disebabkan oleh kedekatan dan kultur yang saling memengaruhi dalam sejarah hubungan daerah Bali dan Banyuwangi. Kesenian Kuntulan Using merupakan kesenian hasil akulturasi budaya Banyuwangi dengan Budaya Islam dan Kesenian Janger Using merupakan akulturasi dengan Kebudayaan Jawa. Kesenian  Janger mirip dengan legendarian yang terdapat di Jogjakarta. Ruang lingkup ceritanya diambil dari Serat Damarwulan yang ditulis pujangga di Kerajaan Mataram atau Kesenian Praburoro yang mengambil cerita Hikayat Amir Hamzah. Tidak berhenti sampai Kesenian Janger, masih banyak kebudayaan lain dari Using yang merupakan hasil akulturasi dari berbagai kebudayaan.

PENERAPAN KEBIASAAN SUKU USING DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Di luar kebudayaan yang lebih bersifat sakral, banyak dijumpai kebiasaan Masyarakat Using dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan-kebiasan tersebut diterapkan dalam ruang lingkup yang luas terutama bagi masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa. Kebiasaan mepe kasur yang dimiliki Masyarakat Using menciptakan kerukunan pada warga di lingkungan sekitar. Kebiasaan tersebut memiliki tujuan untuk memupuk rasa gotong royong. Mepe kasur dilaksanakan secara serentak pada bulan Dzulhijjah dan bertepatan dengan acara syukuran. Kebiasaan mepe kasur acapkali ditemui dilakukan oleh masyarakat nonetnik dalam kesehariannya, meskipun tidak dilaksanakan pada Bulan Dzulhijjah.
Pada acara-acara tertentu, masyarakat pada umumnya memiliki kebiasaan makan-makan dalam rangka mengucapkan rasa terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat sering menyebutnya dengan syukuran. Pada Masyarakat Using syukuran sering dikenal dengan istilah tumpeng sewu, sebab dalam perayaannya menggunakan nasi tumpeng seperti masyarakat pada umumnya. Kebiasaan melaksanakan acara tumpengan tersebut masih dilaksanakan oleh Masyarakat Using hingga sekarang. Tujuan dari tumpeng sewu adalah untuk mencegah bencana (tolak bala’).
Mepe kasur dan tumpeng sewu menunjukkan contoh dua kebiasaan Using yang secara langsung banyak diterapkan di daerah lain di nusantara. Salah satu faktor pendorong fenomena tersebut adalah komunikasi lintas budaya yang sampai pada masyarakat secara menyebar dari mulut ke mulut. Penyebaran kebiasaan-kebiasaan Using terus berlangsung hingga tidak ada batas ruang dan dimensi, begitu pula sebaliknya kebiasaan masyarakat dari luar wilayah Using juga masuk dan diterima dengan tangan terbuka oleh Masyarakat Using. Komunikasi lintas budaya tersebut menjadi medium penambah kekayaan bagi kebudayaan di Indonesia.

SIMPULAN DAN SARAN
Masyarakat Using memiliki keunikan dalam peradabannya. Keunikan tersebut diakibatkan oleh sikap masyarakat yang terbuka dengan kedatangan budaya dari luar. Budaya yang masuk menjadi tombak untuk kemajuan wilayah Using. Oleh sebab itu, Masyarakat Using tidak dapat disebut sebagai masyarakat primitif. Masyarakat Using tetap hidup dengan berinteraksi secara langsung dengan alam tanpa meninggalkan kemajuan zaman.

DAFTAR RUJUKAN
Andriani.2002.Komunikasi Lintas Budaya, (Online), (listpdf.com/ju/jurnal-penelitian-komunikasi-lintas-budaya-pdf.htm), diakses 1 Mei 2016.

Liliweri.2001. Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Rochmat, Zain Arifin dan Najwa Ilham Kelana. 2015. Suku Osing (Banyuwangi). (Online),(http://sipadu.isiska.ac.id/mhsw/laporan/laporan_4273151026205952.pdf), diakses 1 Mei, 2016.






Sabtu, 07 Februari 2015

korupsi dalam pandangan islam dan cara mengatasinya



A.    Korupsi : Pengertian, Ragam, Dan Hukumannya

1.      Pengertian Korupsi
Secara bahasa kata Korupsi tidak ada dalam al-Qur’an atau bahasa Arab. Kata Korupsi berasal dari bahasa Latin “corrumpere”, corruption”, “corruptus”. Kata tersebut kemudian di adopsi oleh beberapa bangsa di dunia. Dalam bahasa inggris “corruption” yang juga berarti “rusak” dan dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa Belanda korruptie yang berarti “curang” dan “jahat”.
Sedangkan secara istilah, korupsi mempunyai arti yang bermacam macam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi berarti perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan lain sebagainya. Istilah ini kemudian dikaitkan dengan perilaku jahat, buruk atau curang dalam hal keuangan dimana individu berbuat curang ketika mengelola uang milik bersama. korupsi diartikan sebagai tindak pemanfaatan dana public yang seharusnya untuk kepentingan umum dipakai secara tidak sah untuk memenuhi  kebutuhan pribadi.
Dalam undang undang negara Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 pasal 2 ayat 1 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan, korupsi adalah setiap orang yang secara sadar melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi (perusahaan atau badan usaha) yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dengan pengertian tersebut praktik praktik kecurangan yang termasuk dalam kategori korupsi antara lain adalah manipulasi, penyuapan, pungli, mark up, dan pencairan dana public secara terselubung dan bersembunyi dibalik dalil dalil konstitusi.



2.      Bentuk Bentuk Korupsi
Banyak istilah pelanggaran hukum dalam pandangan Islam yang dapat dikategorikan sebagai Korupsi. Bentuk bentuk pelanggaran hukum tersebut antara lain:
a.    Ghulul (pengelapan)
Kata ghulul secara bahasa adalah “akhdzu syai wa dassuhu fi mata’ihi” (mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya).  Pada mulanya ghulul merupakan istilah untuk penggelapan harta rampasan perang sebelum dibagikan kepada yang berhak. Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengartikannya dengan al-khiyanat fil maghnam (pengkhianatan pada rampasan perang).
b.      Risywah (suap)
Istilah ini berasal dari kata rasya, yarsyu, risywah yang berarti “menyuap” atau “menyogok”. Orang yang menyuap disebut al-Rasyi sedangkan orang yang menerima suap disebut al-murtasyi. Sementara orang yang menjadi perantara antara pemberi dan penerimannya dengan menambahi di suatu sisi dan mengurangi di sisi lain disebut al-rai’sy. Umar bin Khatab mendefinisikan Risywah sebagai sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada orang yang mempunyai kekuasaan agar ia memberikan kepada si pemberi sesuatu yang bukan haknya. Risywah merupakan perbuatan yang dilarang oleh Al-Quran hadits dan ijma’ ulama.
c.       Hadiyyah (gratifikasi)
Hadiyyah (hadiah) dalam fikih islam disebut hibah. Hukum hibah adalah boleh. Pemberian hadiah menjadi haram hukumnya jika untuk kepentingan tertentu, seperti memberi hadiah kepada pejabat, atasan, atau penguasa untuk mendapatkan keuntungan. Hadiah seperti ini disebut juga dengan gratifikasi, yaitu uang hadiah kepada pegawai atau pejabat di luar gaji yang telah ditentukan untuk memuluskan proyek dan sebagainya. Bentuknya bisa tanah yang luas, perhiasan, rumah mewah, uang tunai dan sebagainya.
d.      Sariqah (pencurian)
Sariqah berasal dari bahasa Arab sarawa-yasriqu yang berarti “mencuri”. Termasuk dalam kategori mencuri adalah merampok, merampas, mencopet, dan memalak. Tindak pencurian merupakan salah satu bentuk dari tindak pidana korupsi karena pada hakikatnya korupsi adalah mencuri atau “ngemplang” uang negara, uang perusahaan, uang organisasi, atau uang orang lain tanpa alasan yang sah. Dalam hukum islam perbuatan mencuri termasuk dalam kategori dosa besar dan dihukum dengan cara dipotong tangannya.
e.    Khiyanah (Khianat/kecurangan)
Khinayah (khianat) adalah perbuatan tidak jujur, melanggar janji, melanggar sumpah atau melanggar kesepakatan. Ungkapan khianat juga digunakan untuk seseorang yang melanggar atau mengambil hak-hak orang lain, dapat dalam bentuk pembatalan sepihak perjanjian yang dibuatnya, khusunya dalam masalah mua’malah (transaksi jual-beli, utang piutang, dan sebagainya) dan juga ditujukan kepada orang yang mengingkari amanat politik, ekonomi, bisnis, social dan pergaulan. Allah SWT sangat membenci dan melarang perbuatan khianat.

3.      Hukum Korupsi dalam Islam
Korupsi memiliki bentuk dan tingkatan yang beragam. Namun, semua kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi merupakan dosa besar. Hukuman bagi para koruptor disesuaikan dengan modus kejahatan yang dilakukan. Misalnya, korupsi dengan modus mencuri atau menggelapkan dana negara, maka baginya berlaku hukum potong tangan jika barang/uang yang digelapkan sudah mencapai satu nisab pencurian, yaitu senilai 94 gram emas. Hukum potong tangan, jika dilihat sepintas memang nampak kejam dan melanggar hak asasi manusia, tetapi perlu diingat bahwa di balik hukum tersebut tersimpan hikmah yang amat besar. Pada kenyataannya, dengan dihukum penjara, jarang dari mereka yang kemudian jera dan berhenti dari perbuatan mencuri. Tetapi dengan adanya pencuri yang dipotong tangan, orang lain akan takut dan berpikir panjang untuk melakukan pencurian, karena dia takut jika ketahuan akan dipotong tangannya.  
Hukuman lain bagi para koruptor adalah ta’zir (hukuman), mulai yang paling ringan berupa dipenjara, lalu memcatnya dari jabatan dan memasukkannya dalam daftar orang tercela (tasyhir), penyitaan harta untuk negara, hingga hukuman mati. Hukuman ini disesuaikan dengan besar kecilnya jumlah uang/barang yang dikorupsi dan dampaknya bagi masyarakat.

B.     Motif-Motif Korupsi
Beberapa motif korupsi sebagai berikut:
1.      Motif Internal
Adalah motif yang timbul dari diri seseorang yang akan melakukan korupsi. Motif internal itu antara lain, (1) sikap terlalu mencintai harta, (2) sikap tamak dan serakah, (3) sikap hidup konsumtif dan hedonis, (4) pemahaman agama yang dangkal, (5) hilangnya nilai kejujuran.
2.      Motif Eksternal
Motif eksternal itu antara lain. (1) adanya kesempatan dan system yang rapuh, (2) factor budaya, (3) factor kebiasaan dan kebersamaan, dan (4) penegakan hukum yang lemah.

C.    Bahaya Korupsi bagi Kehidupan
Ada beberapa bahaya korupsi bagi kehidupan, antara lain :
a.       Bagi individu
1.      Pelakunya akan masuk neraka
2.      Pemakan barang haram tidak akan mencapai derajat takwa
3.   Orang yang makan makanan haram kesadaran beragamannya sedikit
4.      Pemakan harta haram tidak diterima amal dan ditolak doanya.
b.      Bahaya korupsi terhadap kehidupan generasi muda
Dampak utamanya adalah rusaknya generasi muda. anak anak tumbuh menjadi pribadi anti social dan generasi muda akan menganggap bahwa korupsi sebagai hal yang biasa, sehingga pribadi mereka akan terbiasa dengan ketidakjujuran.
c.       Bahaya korupsi terhadap kehidupan bermasyarakat
Jika korupsi telah membudaya dan menjadi kebiasaan sehari hari dalam suatu masyarakat maka masyarakatnya akan kacau dan berpengaruh negative terhadap rasa keadilan social dan kesetaraan social.
d.      Bahaya korupsi terhadap system politik
Kekuasaan politik yang dicapai dengan korupsi akan menghasilkan pemerintahan dan pemimpin masyarakat yang tidak legitimate (sah) di hadapan masyarakat karena masyarakat tidak akan percaya terhadap pemerintah dan pemimpin tersebut akibatnya masyarakat tidak akan patuh dan tunduk pada otoritas mereka.
e.       Bahaya korupsi terhadap system birokrasi administrasi
Korupsi juga akan menyebabkan.Prinsip dasar birokrasi yang rasional, efisien dan kualifikasi tidak akan pernah terlaksana. Kualitas pelayanan jelek dan mengecewakan public.
f.       Bahaya korupsi terhadap system perekonomian
Jika sebuah proyek ekonomi sarat dengan korupsi, maka pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tersebut tak akan pernah tercapai.

D.    Upaya menumbuhkan budaya anti korupsi
Ada banyak sekali upaya yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan budaya anti korupsi, seperi menunmbuhkembangkan budaya anti mencontek, plagiasi dan titip absen. Menumbuhkembangkan sikap jujur, memegang teguh amanah, dll. Semua upaya tersbut hanyalah akan menjadi sebuah opini jika tidak kita tertapkan dan dukung secara terus menerus, penegakan hukum yang tegas juga akan menimbulkan sikap sikap takut terhadap korupsi dan sikap sikap budaya anti korupsi semakin bertambah.